Senin, 03 Agustus 2009

Sepenggal Kenangan

Pendahuluan

Sepenggal kenangan ini merupakan kisah penulis sewaktu masih kecil. Cerita ini akan mulai dengan asal-usul penulis. Asal-usul penulis dari sebuah desa yang kecil namun indah, Baru Lubai nenek moyang memberi namanya. Desa tersebut terletak lebih kurang 120 kilometer, dari Kota Palembang, dapat ditempuh dalam waktu 2 jam menggunakan kendaraan roda 4.

Dahulu kala desa Baru Lubai yang merupakan tempat kelahiranku termasuk wilayah kedatuan Sriwijaya dengan rajanya : Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Setelah kedatuan Sriwijaya hancur berdiri Kesultanan Palembang Darussalam : diantara Sultan yang terkenal adalah : Sultan Mahmud Badaruddin II. Saat ini desa Baru Lubai digabung dengan desa Kurungan Jiwa dengan nama Jiwa Baru, kecamatan Lubai, kapupaten Muara Enim, propinsi Sumatera Selatan.

Saya diberi nama : Amarullah Wanahi, terlahir dari seorang Ayah M. Ibrahim bin Haji Hasan berasal dari desa Baru Lubai dan seorang Ibu Nafisyah binti Wakif. Silsilah Kakek dari Ayah sebagai berikut : Haji Hasan bin Aliakim bin Sinar bin Riamad gelar Lebi atau Lebai bin Natakerti gelar Gemeling Sakti bin Kencana Dewa gelar Jaga Niti dari desa Kurungan Jiwa Lubai.  Silsilah Nenek dari pihak Ayah sebagai berikut : Sedunah Binti Abdur Rahman berasal dari Desa Gunung Raja Lubai. Silsilah Kakek dari Ibu sebagai berikut : Wakip bin Kenarap bin Sani. Silsilah Nenek dari pihak Ibu sebagai berikut : Mastinah Binti Kerio Rudin berasal dari Desa Gunung Raja Lubai. 

Pekerjaan Ayahanda semasa hidup

Penggawa desa Baru Lubai, anggota Dewan Marga Lubai Suku 1, Anggota Panitia Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia nomor induk : 33 Komandannya : Kolonel Sjarnubi Said, pengusaha Batu Bata dan Genting di desa Baru Lubai, kabupaten Muara Enim, provinsi Sumatera Selatan, petani Kebun Serai Wanggi seluas 100 HA di Bukit Jehing, desa Kurungan Jiwa, kabupaten Muara Enim, petani Kebon Karet seluas 70 HA di Bukit Jehing,  desa Kurungan Jiwa, kabupaten Muara Enim, petani Kebon Kopi seluas 30 HA di desa Datar Lebuay, kecamatan Pulau Panggung, kabupaten Tanggamus, propinsi Lampung. 

Sepenggal Kenangan dari desa tempat saya dilahirkan

Sepenggal kenangan, berkelebat di bentang layar ingatan perihal masa kecil keluarga penulis, desa Baru Lubai, kabupaten Muara Enim, provinsi Sumatera Selatan, desa ini menyimpan sejuta cerita memahat, kebersamaan yang indah antara penulis dan keluarga. Kenangan tak lekang oleh waktu, tak lapuk  oleh hujan. Kini kenangan itu kembali berputar dan liar menari-nari di alam pikiran penulis, mengajak ingatan menelusuri sepenggal kisah di waktu lalu.

Kebun Karet

Sepenggal kenangan tahun 1965, kebun Karet Dataran Bukit Jehing, desa Kurungan Jiwa, kecamatan Prabumlih, kabupaten Muara Enim, provinsi Sumatera Selatan, seluas 70 (tujuhpuluh) Hektar Area habis dilalap api. Peristiwa kebakaran kebun Karet ini, merupakan kejadian yang sangat menyedihkan bagi kedua orangtua kami. Terjadi kebakaran ini bermula, ada seorang petani membakar lahan peladangannya yang menyambar keareal perkebunan Karet kami. Orang itu menyerahkan diri pada Ayah kami, hukuman apa yang setimpal diterimanya. Akan tetapi Ayah kami tidak mengambil tindakan apa-apa terhadap orang itu. 

Dengan habis terbakarnya kebun Karet keluarga kami, maka dampaknya bukan saja menimpa kedua orangtua kami, akan tetapi peristiwa ini merupakan titik awal kehancuran perekonomian keluarga kami sampai dengan hari ini. 

Sekadar perhitungan yang sederhana sebagai berikut :
  • Getah Karet diasumsikan setiap hektar rata-rata 700 - 800 kg/ha/th. 
  • Kebun Karet seluas 70 HA, maka akan menghasilkan = 70 x 700 = 49.000 kg. 
  • 49.000 kg x Rp. 7.000 = Rp. 3.430.000.000,- (Tiga milyar Empat ratus tiga puluh juta Rupiah) setiap tahun. 
  • Pendapatan rata-rata perbulan adalah sebesar Rp. 28.583.000,-

Pasar Rabu 

Sepenggal kenangan tahun 1965 - 1970, Pasar Rabu adalah pasar tradisional dalam 1 pekan, dilaksanakan 1 kali. Pasar Rabu. dalam bahasa Lubai disebut Kalangan Ahi Rebu, dalam bahasa Melayu Kalangan Rebu disebut Pekan Rabu. Waktu pembukaan kalangan ini adalah pukul 18.00 sampai dengan 23.00 WIB hari Rabu malam Kamis. Pada lokasi kalangan ada tempat penjualan keperluan sehari-hari seperti Sembako, Rokok Nipah, Tembakau Ranau, Buah-buahan dan pakaian; Kita juga dapat membeli kue, sayur mayur tradisional Lubai di sini seperti Serunding, Rujak Tahu, Garam, Terasi alias Belacan, Pekasam, Rusip.

Jalan Desa

Sepenggal kenangan tahun 1965 - 1970, jalan desa merupakan urat nadi lalu lintasi di desa penulis dilahirkan. Jalan itu persis membelah desa Baru Lubai dan Kurungan Jiwa. Kondisi jalan masih tanah biasa, jadi kalau hari hujan tanah menjadi lembek/becek. Sehingga kita kalau berjalan baru selesai hujan reda, maka kaki jadi kotor semua dalam bahasa Lubai ”keteng lolokan gale”. 

Selain jalan desa masih dalam kondisi tanah merah, disebabkan belum diaspal. Apabila melitasi jalan desa, pada malam hari harus menghindari ranjau-ranjau kotoran Sapi. Pada seketika penulis pulang dari menonton orkes melayu pada tahun 1970, tanpa sengaja kaki penulis menginjak ranjau kotoran Sapi. Sehingga kaki penulis penuh dengan kotoran sapi, aromanya memang tidak seberapa bau. Namun kaki diajak melangkah menjadi tertatih-tatih.

Batanghari Lubai 

Sepenggal kenangan tahun 1965 - 1970, Kalau mau mandi saya sewaktu masih kecil diajak Ayah ke Sungai Lubai. Sepenggal kenangan yang masih sangat terasa adalah pola mandi yaitu kaum Adam mandinya menggunakan Kain lalu menyemplung masuk kesungai, sedangkan untuk kaum Hawa mandinya biasanya diatas rakit Kayu dalam bahasa Lubai disebut Gandung. Mencuci pakaian biasanya dilakukan oleh kaum Hawa diatas Rakit Kayu sebelum melaksanakan mandi. 

Ada adat kebiasaan masyarakat di Kurungan Jiwa dan Baru Lubai ketika saya masih kecil yaitu kaum Adam jika membuang kotoran langsung nongkrong dipinggir Sungai Lubai, sedangkan untuk kaum hawa dibuatkan tempat khusus dalam bahasa Lubai disebut "Bung" ditempatkan diatas rakit kayu atau Gandung.

Bekarang Ikan

Sepenggal kenangan tahun 1976, saya ikut menangkap ikan di Tebat. Ada suatu kebiasaan nenek moyang penulis, menangkap ikan ketika air batanghari surut pada musim kemarau. Kegiatan ini merupakan suatu acara menangkap ikan bersama-sama yang masih ada dalam tali persaudaraan. Penulis diajak berkarang di Tebat Sepape, Tebat Lau-lau dan Tebat Sehokdian desa Kurungan Jiwa. 

Didekat penulis tergeletak seorang ikan yang agak besar yang durinya. Ikan itu saya tangkap tanpa menggunakan alat bantu, sehingga tangan penulis kena patil. Rasanya sakit bukan main, dan tak lama kemudian badan jadi panas akibat reaksi dipatil ikan tadi. Kakak sepupu penulis memberitahukan, bahwa penulis kena patil ikan Baung, dan diberi obat mengurangi rasa dioles balsam. 

4 komentar:

  1. Assalamualikum Wr Wb
    Pak Lubai, eh menarik juga baca tulisannya..karena saya juga punya sodara di blitang, saya sudah dua kali ke blitang, dan lewat yang namanya desa kurungan nyawa ( bukan kurungan jiwa )apa dekat ya dengan daerah itu ?

    BalasHapus
  2. Wa alaikum salam. Maaf saya menjawab komen agak terlambat dan jarak Kurungan Nyawa di Belitang dan Kurungan Jiwa di Lubai lebih kurang 90 KM, pak...

    BalasHapus
  3. tulisan anda "Masyarakat Lubai biasanya akan memberikan apresiasi yang tinggi pada orang yang perekonomian mapan. Karena perekonomian keluarga besar kami dianggap cuma biasa-biasa saja, maka realitanya ketika saya pulang kampung ke Desa Jiwa Baru pada bulan Agustus 2008 bersama dengan Saudara-saudara yang lain hanya apresiasi yang kami dapatkan hanya dari kaum kerabat terdekat saja. Hal ini tercermin dari yang sudi mengunjungi tempat saya menginap saat mereka itu." hembb.. jng riya biarlah uhang tau diwek..jd terkesan lok mne lah mon lok atu...maaf bai klu tesinggong bro..

    BalasHapus
  4. Ok sanak kami nai Rambang, terime kaseh komennye

    BalasHapus