Rabu, 16 September 2009

Pertanian Tradisional

Pendahuluan

Dunia pertanian modern adalah dunia mitos keberhasilan modernitas. Keberhasilan diukur dari berapa banyaknya hasil panen yang dihasilkan. Semakin banyak, semakin dianggap maju. Pertanian modern adalah suatu kegiatan usaha bidang pertanian yang mengoptimal segala aspek pendukung seperti kapital, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kapital atau modal usaha yang besar seorang petani modern akan mudah untuk memujudkan impiannya menjadi petani yang sukses. Petani yang memiliki modal yang besar akan mencari lokasi lahan pertanian yang luas dan mudah dijangkau dengan kendaaraan roda empat, mengurus perizinan pembukaan lahan dengan lengkap, memilih teknologi yang tepat dengan tepat guna dan berdaya guna, merekrut tenaga manusia yang mempunyai kompetensi sesuai dengan kebutuhan.

Pertanian tradisional adalah suatu kegiatan usaha bidang pertanian yang menggunakan modal usaha terbatas, menggunakan teknologi sederhana, sumber daya manusia yang direkrut tidak mempertimbangkan kompetensi yang dimilikinya. Intensifikasi pertanian adalah pengolahan lahan pertanian yang ada dengan sebaik-baiknya untuk meningkatkan hasil pertanian dengan menggunakan berbagai sarana. Intensifikasi pertanian banyak dilakukan di Pulau Jawa dan Bali yang memiliki lahan pertanian sempit.  Ekstensifikasi pertanian adalah usaha meningkatkan hasil pertanian dengan cara memperluas lahan pertanian baru,misalnya membuka hutan dan semak belukar, daerah sekitar rawa-rawa, dan daerah pertanian yang belum dimanfatkan. Selain itu, ekstensifikasi juga dilakukan dengan membuka persawahan pasang surut.

Pola Pertanian Masyarakat Lubai

Kecamatan Lubai (Desa Baru Lubai dan Kurungan Jiwa), tempat kelahiran penulis suatu wilayah di kabupaten Muara Enim, provinsi Sumatera Selatan. Jarak tempuh dari kota Muara Enim lebih kurang 90 KM dan dari kota Palembang lebih kurang 120 KM. Kondisi geografisnya merupakan gugusan dataran rendah, yang dengan sumber daya alam seperti Batu Bara dan Minyak Bumi. Pola pertanian Masyarakat Lubai yang secara geografis berada di pulau Sumatera kebanyakan masyarakat di perkampungan bertani tanaman keras dengan cara yang amat tradisional yaitu bertani dengan pola sub sistem atau dengan kemurahan alam. Di Indonesia baik pulau Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan maupun Papua, pertanian tanaman keras yang diwariskan oleh generasi sebelumnya memiliki pola yang hampir sama, yaitu sub sistem.

Pola bertani ini biasanya menggunakan cara dengan menanam tanaman seperti durian, duku, kemiri, pinang, pisang, asam gelugur, manggis, kemang, cempedak, kecapi, rambai, tampui, aren (secara alami tumbuh sendiri, dibiakkan oleh hewan liar seperti musang), dan lain-lain. Diantara tanaman tersebut, banyak juga tanaman yang sudah ada di lahan karena diwariskan oleh nenek moyang. Pola bertani secara tradisional tersebut sesungguhnya sangat bersahabat dengan alam, arif dan mendukung ekosistem, sebab dengan dengan tanaman yang berbagai jenis di kebun petani akan memelihara berbagai macam hewan tetap hidup karena ketersediaan rantai makanan untuk flora dan fauna yang hidup didalamnya terjaga.

Pola Pertanian Polikultur

Polikultur berasal dari kata poly yang artinya banyak dan culture artinya tanaman. Secara harfiah polikultur berarti model pertanian dengan banyak jenis tanaman pada lahan yang sama. Polikultur bukan berarti model pertanian gado-gado atau juga bukan merupakan tumpang sari, karena model tumpang sari hanya dikenal pada pertanian tanaman semusim. Model pertanian polikultur berbasis pada tahapan dari tahun ke tahun kondisi ekosistem akan lebih baik. Tanaman yang dikembangkan dan kondisi alamnya akan lebih sempurna dan stabil. Selain itu apabila tanaman kerasnya sudah mencapai usia maksimal dan tidak produktif lagi, diameter batangnya sudah sangat besar maka akan menguntungkan petani untuk menebang dan menjual kayunya yang tentunya bernilai ekonomis sangat tinggi.Polikultur akan memadukan berbagai teknologi budidaya yang diselaraskan dengan penology tanaman yang ada dan aspek lokal dan kelestarian sumberdaya alam yang ada. Nenek moyang masyarakat Lubai telah mewariskan pola pertanian polikultur, seperti ada kebun buah-buahan dalam bahasa Lubai disebut “gugok buah-buahan” durian, cempedak, kemang, duku dan sebagainya.

Pola Pertanian Monokultur

Generasi muda Lubai, dengan berbagai aspek pertimbangan telah beralih dari Pola pertanian Polikultur ke Pola pertanian monokultur. Tanam tumbuh nenek moyang seperti kebun buah-buahan ditebangi, hutan rimba dibuka menjadi lahan pertanian kebun Karet dalam bahasa Lubai “bekebun balam”. Berdasarkan pengamatan penulis pada bulan Agustus 2008 di desa Jiwa Baru Kec. Lubai Kab. Muara Enim Prov. Sumatera Selatan, Pohon besar yang tumbuh secara alami dan tanam tumbuhan ditanam nenek moyang telah habis ditebangi. Yang sangat memperihatinkan adalah masyarakat Lubai tinggal dipedasaan yang lahan pertanian berlimpah, akan tetapi untuk kebutuhan hidup sehari-hari harus membeli dari pedagang. Saat ini mereka telah sungkan untuk bertani padi “beume padi dahat”, menanam sayur-sayuran. Waktu mereka banyak tersita kepada bertani Karet.

Bagaimana Kembali Pola Polikultur?

Masyarakat yang bertani dengan pola monokultur dapat kembali ke pola polikultur. Setelah ada musyawarah awal antar anggota keluarga, petani pola monoklutur seperti kebun karet, harus memulai pemetaan lahan yang dimilikinya. Berapa luas kebuh karet yang masih lama  masa produktif, kebon yang sebentar lagi masa produktif dan berapa luas lahan pertanian padi darat.Setelah didapatkan gambar luas kebun karet dan lahan pertanian padi, maka harus diputuskan lahan mana yang akan dijadikan pola pertanian polikultur. Jadi jika tanaman karet yang masa produktif sebentar lagi hendak dikembangkan menjadi tanaman karet dan padi bibit unggul dilahan kering, dalam rangka memaksimalkan lahan dan hasil, maka polikultur adalah konsep yang sangat tepat karena tanaman tua yang tinggi bisa menjadi pelindung dan penyaring sinar matahari agar tidak menerpa tanaman yang tidak membutuhkan sinar matahari secara penuh (50-70 %).

Penataan jarak tanaman ini juga penting agar tidak terjadi persaingan makanan yang dibutuhkan tumbuhan, setiap tumbuhan tentunya membutuhkan unsur makanan utama yang sama dibutuhkan, seperti unsur hara, akan tetapi juga ada yang berbeda, kebutuhan makanannya jika tanaman yang ada sangat berjenis ini akan lebih menstabilkan kondisi tanah dan alam. Jenis tanaman lokal yang sesuai dengan model kebun polikultur adalah petai, durian, pinang, sirsak, langsat, duku dan lain-lain. Alasan-alasan yang dipertimbangkan yakni;
  • Tanaman petai daunnya tidak rimbun, mudah busuk, menyuburkan tanah dan ada musim gugur serta menghasilkan.
  • Durian pohonnya tinggi, buahnya bernilai ekonimis dan daun mudah busuk.
  • Pinang dan kelapa pohon tinggi tidak rimbun (menaungi tumbuhan di bawahnya dari sinar matahari), bernilai ekonomis dan mengundang semut.
  • Sirsak menghasilkan dan mengundang semut yang berfungsi untuk mengendalikan hama dan penyakit.
  • Langsat & duku menghasilkan dan tidak terlalu rimbun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar