Pendahuluan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor : 1 tahun : 1974 tentang : Perkawinan. Pasal 1 : Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2, ayat (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Masyarakat di tanah air, sebagian besar menganggap bahwa perkawinan itu sah apabila sudah memenuhi syarat-syarat : hukum Negara, hukum agama dan hukum adat. Dalam pelaksanaannya perananan ketiga hukum tersebut tidak mutlak, tergantung dari sosio-kultural yang terbentuk dari masyarakat itu sendiri. Pada masyarakat Lubai (masuk rumpun suku Melayu), adat perkawinan yang berlaku mempunyai beberapa tahap yang harus dilaksanakan.
Tulisan ini sekelumit tentang Prosesi pernikahan adat desa Jiwa Baru. Desa Jiwa Baru gabungan (dua) desa yaitu Baru Lubai dan Kurungan Jiwa, bagian dari wilayah kecamatan Lubai, kabupaten Muara Enim provinsi Sumatera Selatan. Terletak pada dataran rendah, dilintasi oleh Sungai Lubai. Jarak dari kota Palembang 120 km, jarak dari kota Batu Raja 70 km, jarak dari kota Muara Enim 90 km. Mayoritas penduduknya adalah etnis Lubai masuk rumpun suku Melayu Palembang. Bahasa yang digunakan adalah mirip bahasa Melayu Deli. Agama yang dianut masyarakat desa Jiwa Baru mayoritas Islam. Mata pencaharian adalah petani kebun Karet dan kebun Nanas serta kebun buah-buahan.
Adat pernikahan di daerah aliran sungai Lubai adalah adat perkawinan/pernikahan Lubai karena sebagian besar penduduk yang berdiam di daerah ini adalah suku asli Lubai. Prosesi pernikahan adat suku Lubai atau jeme Lubai ada beberapa tahap yang harus dilaksanakan antara lain : Tahap Akad Nikah. Sedekah pengantin tradisi suku Lubai terdiri dari : Akad Nikah, Malam Hiburan Keluarga dan Hari Resepsi Pernikahan. Akad Nikah adat Suku Lubai sebagai berikut :
Waktu dan tempat pelaksanaan
Waktu pelaksanaan pada hari sabtu sekitar pukul 15.00 WIB (jam 3 sore) sampai selesai. Tempat pelaksanaan : rumah dikedianman si gadis atau calon mempelai wanita.
Susunan acara :
- Pembukaan
- Pembacaan Kalam Illahi dilanjutkan dengan sari tilawah
- Sambutan pihak mempelai Pria
- Sambutan pihak mempelai Wanita
- Pembacaan khutbatun nikah
- Pembacaan Istigfar, Sholawat
- Pembacaan Syahadat Nikah/ Walimah
- Ijab dan Qobul
- Doa
- Penyerahan mas kawin dari pengantin pria ke pengantin wanita dilanjutkan dengan mencium tangan pengantin pria oleh pengantin wanita
- Doa untuk pengantin dan para hadirin
- Penanda tanganan Surat Akta Nikah diatas materai oleh kedua pengantin, para saksi dan wali
- Ucapan selamat dari yang hadir kepada mempelai
- Ramah tamah tamah dan penutup
Tinjauan Aspek Hukum Islam
Rukun Nikah
Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si perempuan sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”). Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”
Syarat nikah
Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.
Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah rodhiyaallah anhu secara marfu’: “Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458). Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa` no. 1839). Beliau Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah.
Siapakah Wali dalam Pernikahan?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah3, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya. Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu (paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan ‘ashabah tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl La Wilayata lighairil ‘Ashabat minal Aqarib).
Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah). Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha…, dan seterusnya). Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Lafaz / ucapan akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si Fulana kepadamu dengan mahar sebuah cincin emas berlapis permata.” Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si Fulana dengan mahar sebuah cincin emas berlapis permata.”
Penutup
Berdasarkan pengamatan penulis bahwa acara akad nikah adat suku Lubai tidak ada yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, oleh sebab itu akad nikah adat suku Lubai boleh saja dilestarikan. Namun demikian yang perlu disesuaikan adalah penempatan kaum hawa dan kaum adam sebaiknya jangan ditempatkan pada satu tempat. Sebaiknya dibuatkan tempat terpisah antara kaum adam dan kaum hawa, agar nilai nilai Islam dapat kita aplikasikan pada adat pernikahan suku Lubai.
Semoga kajian akad nikah adat suku Lubai bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menjadi bahan pertimbangan pelaksanaan akad nikah anak keturunan suku Lubai. Apabila diperbolehkan menurut hukum Islam marilah kita laksanakan dan apabila dilarang marilah kita hindarkan. Terima kasih atas kunjungan keblog kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar